Pengendalian hayati (biological control) adalah metode yang memanfaatkan musuh alami seperti serangga predator atau parasitoid untuk menekan populasi hama
Era Awal: Masa Emas Pertukaran Serangga Tanpa Aturan
Di masa lalu, pengendalian hayati berjalan atas dasar kepercayaan dan kolaborasi informal antar ilmuwan
Salah satu contoh sukses paling legendaris adalah saat kumbang vedalia dari Australia (Rodolia cardinalis) diimpor ke California pada tahun 1888 untuk membasmi hama kutu putih pada tanaman jeruk
Namun, kemudahan ini datang dengan risiko:
Kurangnya Pengujian: Tidak ada persyaratan untuk pengujian pra-rilis
. Serangga dilepaskan begitu saja dengan harapan mereka akan memangsa hama target. Kesalahan Identifikasi: Kesalahan dalam mengidentifikasi spesies, baik hama maupun musuh alaminya, sering terjadi
. Potensi "Penumpang Gelap": Kadang-kadang, material yang diimpor tidak hanya berisi musuh alami yang diinginkan, tetapi juga serangga lain yang tidak diinginkan, bahkan strain hama baru yang lebih kuat
.
Munculnya Masalah dan Lahirnya Kesadaran Lingkungan
Praktik yang serba bebas ini mulai menunjukkan sisi gelapnya. Salah satu contoh paling mencolok adalah pengenalan lalat tachinid (Compsilura concinnata) dari Eropa ke Amerika Utara untuk mengendalikan ngengat gipsi
Momen penting yang mengubah pandangan dunia adalah terbitnya buku "Silent Spring" oleh Rachel Carson pada tahun 1962
Pengendalian hayati kembali menjadi sorotan, tetapi kali ini dengan pengawasan yang lebih ketat. Atribut yang dulu dianggap sebagai keunggulan—seperti kemampuan musuh alami untuk berkembang biak dan menyebar sendiri—kini justru menjadi sumber kekhawatiran tentang risiko lingkungan
Lahirnya Regulasi pada Berbagai Negara
Mulai tahun 1990-an, banyak negara mulai menerapkan undang-undang dan peraturan terkait pengendalian hayati
Undang-Undang Kesehatan Tanaman
Undang-Undang Pestisida
Undang-Undang Lingkungan Hidup
Setiap negara memiliki pendekatannya sendiri:
Australia dan Selandia Baru dianggap sebagai pelopor dengan peraturan yang sangat ketat, seperti Biosecurity Act (1993) di Selandia Baru, yang menuntut penilaian risiko lingkungan secara komprehensif sebelum pelepasan
. Amerika Utara (AS, Kanada, Meksiko) memiliki kerangka kerja yang terkoordinasi, di mana izin pelepasan harus mempertimbangkan dampaknya terhadap spesies yang terancam punah
. Eropa tidak memiliki peraturan tunggal yang mengikat untuk agen hayati invertebrata, sehingga setiap negara anggota memiliki kebijakannya sendiri, menciptakan lanskap peraturan yang beragam
.
Proses ini seringkali lambat dan birokratis, menjadi tantangan baru bagi para peneliti.
Babak Baru yang Kompleks: Akses dan Pembagian Manfaat
Di tengah meningkatnya kesadaran akan "kedaulatan hayati," lahirlah sebuah perjanjian internasional yang mengubah peraturan:
Konvensi tentang Keanekaragaman Hayati pada tahun 1992, yang kemudian diperkuat oleh Protokol Nagoya pada tahun 2014
Tujuan utamanya adalah untuk memastikan pemanfaatan sumber daya genetik (termasuk serangga untuk pengendalian hayati) dilakukan secara adil dan merata. Protokol ini memperkenalkan tiga konsep kunci:
Akses dan Pembagian Manfaat (Access and Benefit-Sharing - ABS): Prinsip dasarnya adalah keadilan. Jika sebuah negara (atau perusahaan) mengambil sumber daya genetik dari negara lain (misalnya, serangga predator unik dari hutan Amazon), maka negara asal harus mendapatkan bagian dari manfaat yang timbul, baik itu dalam bentuk moneter (royalti) maupun non-moneter (transfer teknologi, pelatihan, penelitian bersama)
. Persetujuan atas Dasar Informasi Awal (Prior Informed Consent - PIC): Siapa pun yang ingin mengakses sumber daya genetik harus mendapatkan izin resmi dari otoritas nasional negara penyedia sebelum melakukan koleksi
. Kesepakatan Bersama (Mutually Agreed Terms - MAT): Syarat-syarat mengenai bagaimana sumber daya akan digunakan dan bagaimana manfaat akan dibagikan harus dinegosiasikan dan disepakati secara tertulis antara pihak pengguna dan penyedia
.
Dampak pada Dunia Penelitian 🔬
Meskipun bertujuan mulia untuk mencegah "biopiracy," peraturan ABS ini menciptakan tantangan besar bagi para ilmuwan pengendalian hayati:
Birokrasi yang Rumit: Proses untuk mendapatkan PIC dan menyusun MAT bisa memakan waktu berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun, yang menghambat kemajuan proyek pengendalian hama yang mendesak
. Biaya yang Meningkat: Biaya yang terkait dengan proses hukum dan administrasi telah meningkat secara dramatis
. Ketidakpastian Hukum: Karena setiap negara menafsirkan dan menerapkan Protokol Nagoya secara berbeda, para peneliti seringkali bingung dengan peraturan yang harus diikuti
.
Menanggapi hal ini, komunitas ilmiah, melalui organisasi seperti
International Organization for Biological Control (IOBC), telah bekerja keras untuk mengembangkan "Praktik Terbaik" (Best Practices)
Kesimpulan: Masa Depan Pengendalian Hayati
Pengendalian hayati telah berevolusi dari praktik yang sederhana dan informal menjadi disiplin ilmu yang sangat teregulasi. Saat ini, dunia semakin melirik pengendalian hayati sebagai solusi berkelanjutan untuk mengurangi ketergantungan pada pestisida kimia
Namun, tantangan terbesar bagi para praktisi saat ini bukan lagi hanya menemukan musuh alami yang tepat, tetapi juga menavigasi labirin kebijakan nasional dan internasional yang kompleks. Keberhasilan program pengendalian hayati di masa depan akan sangat bergantung pada kemampuan kita untuk membangun kolaborasi internasional yang kuat, mematuhi prinsip keadilan hayati, dan secara aktif terlibat dalam pembentukan kebijakan yang mendukung ilmu pengetahuan demi planet yang lebih sehat.
Perjalanan pengendalian hayati adalah cerminan dari evolusi kesadaran kita terhadap lingkungan. Dari eksploitasi bebas menjadi kemitraan yang bertanggung jawab, kisah ini mengajarkan kita bahwa solusi paling alami sekalipun membutuhkan kearifan, kehati-hatian, dan kerja sama global.
Sumber :
Afonso, C., Seehausen, M. L., & Branco, M. (2025). A Global Perspective on Biological Control Policies, Including Access and Benefit Sharing. In B. P. Hurley, S. A. Lawson, & B. Slippers (Eds.), Biological Control of Insect Pests in Plantation Forests (pp. 19-52). Springer.
Posting Komentar untuk "Perjalanan Kebijakan Pengendalian Hama Hayati di Dunia "